In Pictures: Asia Kolektifa menandai kebangkitan festival berbasis kolektif di Jakarta
Festival regional Tripo 3000 yang pertama menyoroti beragam suara di Asia sekaligus menyerukan konservasi satwa liar.
"Three stages, two days, one region." Ketika kalimat-kalimat ini pertama kali terdengar dari akun Instagram misterius yang bernama Asia Kolektifa, awalnya nggak banyak yang tertarik untuk mengikuti akun tersebut. Tapi, setelah lebih dekat melihat daftar following-nya, kita tahu bahwa ini adalah akun yang patut diikuti terus.
Ternyata, Asia Kolektifa adalah ide dari Tripo 3000 (bagian dari divisi event Grup 3000 yang berbasis di Jakarta) — sebuah festival Q4 yang mereka promosikan pada bulan Juli dan berhasil dirahasiakan hingga satu bulan sebelum acara tersebut.
Festival selama dua hari ini diadakan di A3000 Creative Compound milik Grup 3000, dengan menggunakan ruang yang dibagi menjadi tiga panggung yang menyambut sekitar 1.500 orang untuk pesta dan seru-seruan selama dua hari, dari pukul 3 sore hingga 3 pagi. Panggung-panggung tersebut diisi oleh 31 bakat eklektik yang dikurasi secara khusus, termasuk Taku Hirayama dari Saigon, Muto dari Singapura, dan Sunju Hargun dari Bangkok, serta produser dan kolektif lokal dari Bali, Yogyakarta, Bandung, dan Aceh.
Baca ini selanjutnya: In pictures: Outer Bounce at Haw Par Villa ushers in the next generation of Singaporean ravers
Ketika para ravers yang bersemangat berlarian di antara koridor dan ruang terbuka tempat tersebut, kamu dapat mendengar kata-kata "Elephant!", "Tiger!", "Panda!" bergema di udara. Semua ini adalah hewan-hewan yang diambil sebagai nama panggung, dan ada alasan keren di balik pilihannya.
"Asia dikenal sebagai wilayah dengan alam yang sangat beragam dan satwa liar yang melimpah. Tetapi bersamaan dengan keanekaragaman ini, ada tantangan besar untuk menghentikan perburuan ilegal, perdagangan hewan liar, dan ancaman serius terhadap satwa-satwa ini," kata para anggota Tripo 3000.
Nah, terus gimana festival yang baru pertama kali digelar ini bisa membantu mengatasi masalah-masalah itu? Ketika kamu masuk ke setiap panggung, kamu akan diberi kode QR. Cukup scan kode tersebut, dan kamu akan diarahkan ke halaman World Wildlife Fund (WWF), di mana kamu bisa belajar lebih banyak tentang hewan-hewan ini dan bahkan memberikan sumbangan langsung untuk konservasi mereka.
Nah, berbicara soal panggung, bagi mereka yang ingin berhenti sejenak dan santai sambil menghirup udara segar di tengah hiruk-pikuk panggung "Elephant," "Tiger," dan "Panda," beruntunglah karena ada panggung "Mushroom." Tempat ini adalah tempat persembunyian dari keramaian yang ramai. "Mushroom" adalah ruang yang lebih kecil di mana para pecinta kuliner dapat bersantai di atas bantal dan beanbag, sembari menikmati alunan musik ambient dan menikmati tampilan visual besar yang bisa membuatmu merasa seakan tengah berhalusinasi. "Terkadang, di tengah acara multi-panggung yang penuh energi, kita memerlukan momen untuk mengisi ulang semangat kita. Inilah saatnya ‘Mushroom’ hadir, sebagai tempat untuk mengisi ulang dan mereset semangat kamu," kata penyelenggara, yang mengaku terinspirasi oleh film budaya rave berjudul 'Groove' yang dirilis di San Francisco pada tahun 2000.
Seperti festival yang baru pertama kali diadakan, selalu ada rintangan baru yang muncul, dan cuaca adalah hal yang tak bisa kita kendalikan. Pada awal hari kedua, hujan turun dengan cukup deras. Jadwal penampilan di panggung 'Panda' di harus diundur, tapi semangat tetap berkobar. Kerumunan orang berkumpul di bawah kanopi, dengan antusias menunggu langit cerah. Ketika akhirnya matahari bersinar dan malam tiba, para peserta dengan semangat menghidupkan panggung 'Panda' yang sebelumnya tergenang air, sambil merilis semua energi yang terpendam. Sinar laser malam hari menambah keindahan suasana.
Baca ini selanjutnya: 50 candid snaps from Indonesia’s exalted Salt A Way
Pikirin genre musik apa pun, dan kamu kemungkinan akan mendengarnya di Asia Kolektifa. Ketika kami bertanya kepada Tripo 3000 tentang hal yang paling menarik dari acara ini, mereka dengan tegas menyebut Prontaxan, kru asal Yogyakarta yang menghadirkan genre yang disebut 'Funkot' (Funky Kota). Gimana sih cara mendeskripsikan musik mereka? "Musik dance cepat ala Indonesia yang mencampurkan Eurodance dan synth trance dengan ritme dangdut koplo." kamu benar-benar harus mendengarnya sendiri baru bisa percaya
"Lagi-lagi untuk menghubungkan dan menyatukan para penggemar musik elektronik," terutama setelah masa pandemi, adalah tujuan yang tipikal akhir-akhir ini. Tapi, Asia Kolektifa berhasil mewujudkannya dengan sukses selama festival regional mereka yang berlangsung selama dua hari. Nggak hanya sebagai panggung untuk merayakan bakat-bakat dari seluruh kawasan, Asia Kolektifa juga menjadi wadah berbagi pengalaman dalam menggabungkan kekayaan suara Asia yang beragam.
Dengan rencana event yang lebih besar untuk tahun depan, pastikan untuk mengikuti Instagram Asia Kolektifa di sini.
[Via: Mixmag Asia]
Amira Waworuntu adalah Managing Editor Mixmag Asia, ikuti dia di Instagram. / Jemima Panjaitan adalah Writer Mixmag Indonesia. Ikuti dia di Instagram.